DJKI Soroti Maraknya Pemotongan Film di Media Sosial, Kreator Diimbau Hormati Hak Cipta

01ka3gtx9pvspjjndjd5485980
Direktur Hak Cipta dan Desain Industri, Agung Damarsasongko (kanan) berbincang dengan Ernest Prakasa (tengah). Foto: dok. DGIP

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM menyoroti meningkatnya praktik pemotongan dan pemanfaatan ulang potongan film di berbagai platform media sosial. Fenomena ini dinilai semakin masif dan berpotensi merugikan para kreator film.

DJKI menggandeng sutradara sekaligus komika Ernest Prakasa untuk mengedukasi publik bahwa film merupakan bundle of rights, atau kumpulan hak cipta, yang tidak boleh dipotong, diubah, maupun diparodikan tanpa persetujuan pemilik hak.

Film adalah Kumpulan Hak Cipta yang Dilindungi

Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI, Agung Damarsasongko, menegaskan bahwa film terdiri dari berbagai elemen kreatif seperti naskah, musik, penyutradaraan, dan penampilan aktor. Seluruhnya, kata Agung, dilindungi undang-undang sebagai ekspresi kreatif yang memiliki nilai hukum.

“Sekarang lagi tren di TikTok dipotong-potong jadi beberapa bagian. Itu sudah ‘mutilasi’ karya cipta dan melanggar hak moral,” ujar Agung dalam What’sUp Podcast bertema “Bangun Ekosistem Film yang Adil”, Sabtu (15/11).

Agung menambahkan, untuk melakukan pengeditan terhadap film, izin sutradara tetap wajib karena setiap elemennya merupakan hasil kreasi yang tidak bisa dimanfaatkan sembarangan.

Fenomena Clipper dan Dampaknya bagi Ekosistem Film

Maraknya clipper, yakni pengguna yang membuat potongan film dan mengunggahnya tanpa izin hingga viral, turut menjadi perhatian serius. Menurut Ernest Prakasa, praktik ini bukan hanya merugikan sutradara, tetapi juga merusak ekosistem produksi film dan industri streaming.

“Ketika film dicacah jadi 30 klip, yang rugi bukan cuma kreator, tapi juga platform streaming yang sudah membayar mahal,” ujar Ernest. Ia menjelaskan bahwa platform digital memiliki algoritma canggih untuk mendeteksi konten bajakan, namun proses pelaporan tetap membutuhkan energi yang tidak sedikit.

Parodi Film Juga Berpotensi Melanggar Hak Cipta

Selain potongan film, konten parodi berbasis cuplikan film kerap diunggah pengguna media sosial dan tak jarang meraih keuntungan ekonomi, baik berupa views, endorsement, maupun eksposur.

Menanggapi hal tersebut, Agung menegaskan bahwa remix atau parodi yang memanfaatkan potongan film tanpa izin tetap tergolong pelanggaran hak cipta.

“Remix potongan film jadi parodi itu cikal bakal pelanggaran hak cipta. Hak moralnya hilang, karya dipotong tanpa izin. Tidak boleh tanpa izin,” katanya.

Media Sosial Tetap Penting dalam Promosi Film

Meski menghadapi tantangan pembajakan digital, Ernest mengakui bahwa media sosial tetap tidak bisa diabaikan dalam strategi pemasaran film. Menurutnya, kreator perlu memahami dinamika platform seperti TikTok tanpa harus mengorbankan hak cipta.

“Suka tidak suka, peperangannya di TikTok. Mau tidak mau kita harus tahu cara kerjanya,” ujar Ernest. Ia menambahkan bahwa penonton saat ini sudah semakin cerdas dalam membedakan promosi organik dan konten berbayar.

DJKI Ajak Publik Dukung Ekosistem Film yang Adil

DJKI mengimbau kreator media sosial maupun penonton untuk tidak sembarangan memotong, menggunakan ulang, atau memparodikan film tanpa izin. Publik juga diminta untuk menonton film melalui bioskop atau platform legal sebagai bentuk dukungan terhadap industri film tanah air.

Peningkatan literasi hak cipta dinilai sebagai langkah penting dalam membangun ekosistem film yang sehat dan berkelanjutan. Dengan kerja sama antara kreator, penonton, platform digital, dan pemerintah, Indonesia diyakini dapat menciptakan industri film yang adil bagi semua pihak.

Pelindungan kekayaan intelektual bukan hanya bentuk kepatuhan terhadap hukum, tetapi juga penghargaan atas proses kreatif yang panjang, kompleks, dan penuh dedikasi. (***)

Dunia Sudah Canggih! Kreatiflah Sedikit...