Sengketa Tanah Jusuf Kalla dengan PT GMTD Mengemuka

#image_title

 

Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla (JK), kini tengah menghadapi sengketa tanah dengan PT GMTD Tbk terkait kepemilikan lahan seluas 16,4 hektar di Makassar. Polemik ini mencuat setelah Pengadilan Negeri (PN) Makassar melalui surat balasan menyatakan bahwa PT GMTD memenangkan kepemilikan atas lahan tersebut. Putusan itu menjadi sorotan lantaran JK memiliki empat Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) serta akta pengalihan hak yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Makassar pada 1996 dan 2008.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Nusron Wahid, turut angkat suara dan mengaku kebingungan. Data resmi di Kementerian ATR/BPN menunjukkan bahwa lahan tersebut terdaftar atas nama Jusuf Kalla. Hal ini memunculkan pertanyaan besar: bagaimana bisa muncul sertifikat ganda untuk lahan yang sama?

Penyebab Sertifikat Tanah Tumpang Tindih

Kepala Biro Humas dan Protokol Kementerian ATR/BPN, Shamy Ardian, menjelaskan bahwa tumpang tindih sertifikat tanah bukan hal baru dan bisa terjadi karena sejumlah faktor. Salah satunya adalah keberadaan sertifikat tanah berstatus KW 4, 5, dan 6.

Shamy mengatakan, sertifikat dengan kategori tersebut merupakan produk terbitan lama, yakni antara tahun 1961 hingga 1997. Pada periode tersebut, sertifikat diterbitkan tanpa dilengkapi peta kadastral sehingga akurasinya rendah. Sertifikat terbitan lama ini juga belum masuk sistem digital, menjadikannya rentan terhadap konflik.

“Banyaknya konflik dan pengaduan masyarakat disebabkan oleh ketiadaan digitalisasi kadastral pada masa lalu,” ujar Shamy kepada Kompas.com, Senin (17/11/2025).

Untuk mencegah kasus serupa terulang, Kementerian ATR/BPN tengah mempercepat program modernisasi data pertanahan. Shamy menegaskan bahwa kantor-kantor pertanahan di daerah perlu lebih aktif melakukan validasi data serta berkolaborasi dengan pemerintah daerah untuk menyelesaikan persoalan agraria.

Putusan Pengadilan yang Bertentangan

Selain faktor teknis, sertifikat ganda juga dapat muncul akibat putusan pengadilan yang saling bertentangan. Shamy mencontohkan kasus di mana Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tingkat pertama memerintahkan pembatalan sebuah sertifikat dan menerbitkan yang baru. Namun, proses berlanjut ke tingkat banding, kasasi, atau peninjauan kembali yang kemudian justru membatalkan putusan awal tersebut.

“Jika putusan PTUN tingkat pertama dinyatakan gagal karena dibatalkan di tingkat berikutnya, hal ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih hak atas tanah,” jelas Shamy.

Hingga kini, kasus sengketa tanah antara Jusuf Kalla dan PT GMTD masih dalam sorotan publik. Pemerintah melalui ATR/BPN berjanji akan terus menelusuri akar masalah dan memastikan pembenahan sistem pertanahan berjalan demi menghindari konflik agraria serupa di masa depan. (***)

Dunia Sudah Canggih! Kreatiflah Sedikit...